Langsung ke konten utama

DALAM DIAM, AKU MENCINTAIMU

DALAM DIAM AKU MENCINTAIMU
Cinta Yang Sederhana

Di tengah keramaian kelas yang penuh dengan tawa dan suara lelaki, ada satu sosok yang selalu berhasil mencuri pandanganku. Dia, seorang teman sekelas yang lebih sering diam dan menyendiri, hadir seperti bayangan yang teduh. Pendiam, misterius, namun memancarkan sesuatu yang tak dapat kujelaskan. Dari pertama kali melihatnya, ada rasa yang tumbuh begitu saja—bukan karena penampilannya, bukan pula karena sikapnya yang menonjol. Rasa itu hadir seperti hujan yang turun tanpa peringatan, seperti benih yang entah bagaimana tertanam di hatiku dan terus tumbuh, meski aku tak pernah menginginkannya.

Aku tidak pernah memilih untuk jatuh cinta padanya. Namun, perasaan itu hadir begitu saja, seolah hidup di luar kendaliku. Seperti rumput liar yang tumbuh subur tanpa disirami, perasaan ini semakin kuat, semakin dalam. Ada sesuatu tentang dia yang tidak pernah bisa kugambarkan dengan kata-kata. Tatapannya yang tenang, gerak-geriknya yang selalu tampak penuh makna, semuanya membangun sebuah keindahan yang hanya bisa kulihat dari kejauhan.

Aku sering memperhatikannya, diam-diam, saat dia sibuk melakukan hal-hal sederhana. Ketika dia berbicara dengan temannya, ketika dia fokus mendengarkan diskusi di kelas, atau bahkan saat dia hanya menatap kosong ke luar jendela. Namun, momen yang paling menyenangkan adalah ketika dia tertidur. Saat ujian, kami duduk berdekatan, dan dia sering kali tertidur dengan posisi bertumpu pada tangan kirinya, menghadap tembok. Ada keindahan dalam cara dia tertidur—sangat damai, seolah dunia luar tak lagi mengganggunya. Pada momen-momen itu, aku merasa seperti waktu berhenti, membiarkanku menikmati keheningan yang hanya milik kami berdua, meskipun dia mungkin tidak pernah menyadarinya.

Kami tidak pernah benar-benar dekat. Interaksi kami terbatas pada percakapan singkat yang tak pernah lebih dari sekadar formalitas. Dia mungkin bertanya tentang sesuatu yang sederhana—tentang tugas atau jadwal ujian—namun bagi hatiku, setiap kata darinya adalah hadiah. Aku ingat betapa hatiku melompat kegirangan hanya karena dia menyapaku. Sebuah sapaan biasa baginya, tetapi sangat berarti bagiku.

Ironisnya, pada saat itu, aku sudah memiliki seorang kekasih. Dia bukan pria sembarangan; dia adalah seorang ketua OSIS di sekolah lain. Sosok yang sempurna di mata banyak orang. Tampan, tinggi, gagah, dan penuh prestasi. Sejak sekolah dasar hingga SMA, dia selalu menjadi juara kelas. Dia adalah kebanggaan sekolah, idola banyak wanita, dan sahabat yang diinginkan setiap pria. Bersamanya, aku seharusnya merasa beruntung, merasa bangga. Namun, ada sesuatu yang hilang. Bersamanya, aku hanya merasakan kekaguman, bukan cinta. Mungkin itu yang membedakan rasa yang aku miliki untuk pria ini—teman sekelasku yang pendiam dan sederhana—dengan rasa yang kumiliki untuk kekasihku.

Aku tidak pernah ingin mengubah apa pun tentang hubungan kami yang penuh kebisuan ini. Momen ketika kami duduk berdekatan saat ujian, ketika senyuman kecil terlempar di antara kami, sudah cukup bagiku. Meski hanya sekejap, senyuman itu seperti percikan cahaya di tengah kegelapan. Begitu sederhana, tapi begitu berharga. Dalam keheningan, aku menemukan kebahagiaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mungkin, kebahagiaan memang bisa hadir dalam bentuk yang paling sederhana, dan aku memilih untuk menikmatinya, meski dalam diam.

Namun, tidak bisa dipungkiri, ada saat-saat di mana hatiku terasa sakit. Melihatnya bersama perempuan lain, berbicara dengan begitu akrab, membuatku merasa perih. Namun anehnya, aku juga merasa bahagia. Kebahagiaan yang datang dari melihatnya tersenyum, meskipun senyum itu bukan untukku. "U smile, I smile," aku selalu berkata dalam hati. Perasaan ini, meski menyakitkan, mengajarkanku bahwa cinta tidak selalu tentang memiliki. Terkadang, cinta adalah tentang membiarkan orang yang kita sayangi bahagia, meskipun kebahagiaan itu tidak datang dari kita.

Aku tidak berani berharap lebih. Biarlah perasaan ini tetap terjaga dalam diam, tersembunyi dalam khayalan indah yang hanya milikku sendiri. Aku tak ingin merusak apapun, baik antara aku dan dia, atau antara aku dan kekasihku. Jika takdir suatu hari mempertemukan kami lagi, dan dia memiliki perasaan yang sama, maka aku berharap aku masih bisa merasakan hal yang sama seperti saat ini. Namun jika tidak, aku akan tetap bahagia, karena pernah merasakan cinta yang murni dan indah, meski hanya dari kejauhan.

Setiap hari, aku belajar untuk menerima perasaan ini. Aku tidak melawan, tidak menyangkalnya. Seperti angin yang berhembus perlahan, aku membiarkan rasa ini menyelimuti hatiku, memberi warna pada hari-hariku yang biasa. Terkadang, rasa cemas menghampiri, rasa ragu juga sering muncul. Namun, di tengah keraguan itu, aku menyadari bahwa perasaan ini adalah bagian dari hidup yang harus dinikmati. Tidak semua cinta harus diungkapkan, tidak semua rasa harus dimiliki. Beberapa cinta hadir untuk memberikan pelajaran—tentang keindahan dalam kesederhanaan, tentang kebahagiaan dalam kebisuan.

Dan mungkin, itulah yang membuat perasaan ini begitu istimewa. Karena dalam diam, aku mencintainya tanpa syarat, tanpa tuntutan. Aku mencintainya dengan cara yang hanya aku yang tahu. Dan bagiku, itu sudah lebih dari cukup.

---

Dalam Diam, Aku Mencintaimu

Aku tak pernah meminta,
Rasa ini hadir begitu saja,
Seperti angin yang berhembus perlahan,
Tanpa suara, namun mengguncang hati.

Kau, dalam diamku,
Menjadi sosok yang kerap kuperhatikan,
Ketika dunia terlalu sibuk untuk peduli,
Aku duduk, menyaksikanmu dari kejauhan.

Tak ada harapan,
Tak ada mimpi yang kupupuk dalam nyata,
Hanya bayangmu, yang diam-diam hadir,
Menghiasi setiap sudut ingatanku.

Kau mungkin tak tahu,
Setiap gerakmu menyentuh jiwaku,
Setiap senyummu, meski bukan untukku,
Menciptakan bintang di langit hatiku yang sepi.

Saat kau berbicara dengan yang lain,
Aku diam,
Menyaksikan dari jauh,
Merasakan perih yang manis,
Karena kebahagiaanmu adalah bahagiaku juga.

Aku mencintaimu dalam hening,
Di sela tawa teman-temanmu,
Dalam tatapan kosongmu pada dinding kelas,
Aku menemukan dunia yang hanya milikku.

Kau tidur, bertumpu pada tangan kiri,
Dan di sanalah aku menyaksikan keindahan,
Keindahan yang sederhana namun menusuk,
Mengisi setiap ruang kosong di hatiku.

Aku mencintaimu,
Seperti hujan yang jatuh diam-diam,
Membasahi bumi tanpa pernah bertanya,
Apakah ia diterima dengan suka cita atau tidak.

Di antara keramaian,
Aku tenggelam dalam khayalan,
Menyusun cerita tentang kita,
Meski ku tahu, itu hanya ilusi indah.

Namun aku tak berani berharap,
Tak ingin mengubah apapun yang sudah ada,
Biarlah perasaanku tumbuh dalam sunyi,
Seperti bunga liar di tengah padang yang tak tersentuh.

Kadang, aku merasa cemburu,
Melihatmu bersama yang lain,
Tapi di balik rasa sakit itu,
Aku tetap tersenyum,
Karena cintaku tak pernah menuntut apa-apa.

Aku mencintaimu tanpa syarat,
Tanpa harus memiliki,
Aku mencintaimu dengan cara yang hanya aku yang tahu,
Diam-diam, namun tak pernah padam.

Cinta ini,
Adalah bagian dari diriku yang tak akan pernah kuungkap,
Biarkan ia tetap tersembunyi,
Karena mungkin di situlah letak keindahannya.

Dan jika suatu hari,
Kita bertemu lagi di jalan yang berbeda,
Jika takdir memberiku kesempatan untuk mencintaimu lebih dari ini,
Aku berharap aku masih bisa mencintaimu,
Seperti aku mencintaimu sekarang,
Dengan kesederhanaan,
Dengan ketulusan,
Dalam diam.


---
By. Fadillah Fani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA DITOLAK? NALAR BERTINDAK!!

KETIKA MERASA DITOLAK : APAKAH AKU MEMANG LAYAK DICINTAI?  Hey gengs! Pernah nggak sih kalian baca quotes di medsos yang bunyinya kurang lebih kayak gini, "Kalau cinta  lu ditolak, coba balik pandangannya. Kalau lu jadi dia, apa lu mau sama diri lu yang kayak sekarang?" Waktu pertama kali baca kalimat ini, aku juga sempat kepikiran loh, "Hmmm, ada benernya nggak ya?" Kalimat itu ngajak kita buat coba melihat diri sendiri dari sudut pandang orang lain. Kalau kita ditolak, bukan cuma mikirin soal penolakan itu aja, tapi coba deh bayangkan kalau kita jadi orang yang nolak. Apakah kita akan tertarik dengan diri kita yang sekarang? Bukan berarti kita harus menyesuaikan diri sepenuhnya sama ekspektasi orang lain, tapi ini semacam ajakan buat introspeksi: "Apa aku udah jadi versi terbaik dari diriku?" atau “Apakah aku pribadi yang layak, menarik, dan bisa jadi harapan buat orang lain?” Nah, sebelum sedih dan mikir kalau kita nggak layak dicintai, yuk kita bahas h...

SENI MELAMUN

MELAMUN : SENI MENGGALI MAKNA DI BALIK KEHENINGAN Hai, teman-teman!  Kita semua pasti pernah mengalami momen ketika pikiran melayang jauh, entah saat lagi di tengah keramaian, antri, atau bahkan saat kerja. Melamun, atau yang sering kita sebut dengan "bengong," sering kali dianggap sebagai aktivitas yang sia-sia. Tapi, pernah gak sih kalian mikir kalau melamun itu bisa jadi salah satu cara paling efektif buat kita menemukan makna dalam hidup? Yuk, kita eksplor lebih jauh tentang seni melamun ini! Melamun: Kegiatan yang Terabaikan Pertama-tama, kita harus paham bahwa melamun itu wajar! Dalam dunia yang serba cepat ini, sering kali kita terjebak dalam rutinitas yang bikin otak kita kehabisan napas. Di saat-saat seperti itu, melamun bisa jadi pelarian yang menyenangkan. Kalian tahu kan, kadang dari situlah muncul ide-ide brilian yang gak pernah kita duga sebelumnya. Melalui melamun, pikiran kita bisa berkelana ke tempat-tempat yang mungkin selama ini terabaikan. Momen Refleksi D...