Hari ini…
aku duduk sendiri di ruang kerja.
Di negara orang, jauh dari rumah,
sendirian menghadapi hari-hari yang rasanya… makin sunyi.
Aku buka laptop,
di sebelah ada sandwich yang setengah kumakan,
dan sebungkus mochi yang belum juga disentuh.
Entah kenapa, semuanya terasa hambar.
Bukan karena rasanya,
tapi karena pikiranku sedang kosong.
Atau... mungkin penuh.
Aku sempat mengeluh dalam hati.
Tentang rasa bosan.
Tentang kesepian.
Tentang rutinitas yang terasa kaku.
Tentang makanan yang nggak menggugah selera.
Tentang perasaan hampa yang datang diam-diam.
Lalu aku buka HP.
Cuma iseng.
Tapi yang aku temukan, bukan hiburan,
melainkan hantaman.
Lagi, lagi dan lagi.
Aku melihat cuplikan video.
Seorang anak kecil di Gaza.
Duduk di lantai penuh puing dan debu,
memegang sepotong roti kering isi rumput.
Tapi dia tersenyum.
Bukan senyum terpaksa.
Tapi senyum tulus, yang membuatku diam.
Terpaku.
Dan malu.
Aku langsung berpikir,
kenapa aku bisa-bisanya ngeluh?
Aku memang jauh dari keluargaku sekarang.
LDR.
Merantau.
Cuma bisa dengar suara ayah dan ibu lewat telepon,
melihat wajah mereka lewat layar kecil yang kadang lag.
Tapi mereka masih ada.
Masih bisa aku sapa.
Masih bisa aku bilang:
"Aku rindu, jaga kesehatan ya."
Dan mereka akan menjawab:
"Kamu juga, Sayang. Makan yang banyak ya."
Aku masih punya keluarga yang lengkap.
Adik yang masih bisa kukirim pesan.
Kamar di rumah yang selalu menungguku pulang.
Aku punya tempat tinggal.
Aman.
Bersih.
Ada listrik, air panas, dan koneksi internet.
Aku masih bisa makan setiap hari.
Masih bisa kerja.
Masih bisa belajar.
Masih bisa tidur tanpa suara ledakan.
Sementara di Gaza...
banyak anak kecil yang tidak tahu apakah besok masih bisa memanggil ibunya.
Banyak yang harus menggali makam saudaranya sendiri.
Banyak yang kehilangan rumah, kaki, dan harapan—
tapi masih bisa berkata:
"Aku bersyukur masih hidup hari ini."
Mereka bukan cuma bertahan.
Mereka bersinar di tengah reruntuhan.
Mereka kuat secara fisik dan mental.
Bercanda sambil berlari di antara puing,
tertawa sambil menutup luka dengan kain seadanya,
berdoa dengan mata penuh cahaya,
dan tidak pernah kehilangan keberanian untuk tetap hidup...
atau bahkan untuk mati.
Aku,
yang utuh,
yang masih bisa bicara dengan keluargaku walau berjauhan,
yang masih bisa memilih makanan,
yang masih bisa bersantai setelah bekerja,
masih bisa bilang hidupku berat?
Aku...
malu.
Malu semalu-malunya.
Aku lupa,
bahwa bahkan bisa merindukan keluargaku adalah sebuah anugerah.
Karena mereka masih ada.
Masih bisa kutemui nanti.
Masih bisa kudekap ketika waktu dan jarak akhirnya pulang.
Aku lupa,
bahwa yang aku anggap “biasa”,
bagi banyak orang, adalah kemewahan yang tak bisa mereka bayangkan.
Jadi hari ini,
aku menulis surat ini,
untukku sendiri…
Supaya aku ingat.
Supaya aku tahu diri.
Supaya aku berhenti menuntut hidup yang lebih,
dan mulai bersyukur atas hidup yang masih utuh.
Karena aku tahu,
hanya hati yang bisa merasa cukuplah
yang akan benar-benar merasa damai.
Dengan rindu,
dengan malu,
dan dengan harapan untuk menjadi lebih bersyukur setiap hari…
dari diriku, yang sedang jauh dari rumah,
tapi tidak ingin jauh dari rasa syukur.
Funfun 🤍
Komentar
Posting Komentar