GELASKU KOSONG, JIWA YANG PENUH
Puisi Akhir Hari
Di hadapanku, sepi berbicara lirih,
Segelas kisah kuno yang mengalir dalam cahaya temaram.
Waktu, oh waktu, engkau cair dan liar,
Melarutkan batas antara kini dan dulu,
Menjerat jiwa-jiwa yang haus akan arti,
Tenggelam dalam riak yang memanggil dari kejauhan.
Seteguk rahasia membasuh bibir yang diam,
Seperti bisikan dari masa yang terlupakan,
Di dalamnya tersimpan perang batin para pendahulu,
Pejuang hati dan pemikir yang tertunduk pada nasib,
Mengurai kisah-kisah tak terucap,
Menghidupkan kembali mimpi-mimpi yang patah di persimpangan sejarah.
Di antara reruntuhan harapan, mereka berdansa,
Menghirup keabadian sesaat,
Melawan dunia yang tak pernah mereka kuasai,
Namun, akhirnya tunduk pada arus yang tak terhenti,
Seperti ombak yang menyeret segala yang berdiri teguh,
Demikianlah hidup, tak terelakkan,
Namun tak terhenti dalam kemegahan kejatuhannya.
Dan kini, di tangan ini, gelas tua kembali bergetar,
Mengalirkan kebijaksanaan yang terselip dalam kegetiran,
Menghidupkan kembali jiwa-jiwa yang telah hilang,
Aku belajar bahwa ada makna di setiap jejak yang ditinggalkan,
Bukan tentang kemenangan, bukan tentang kekalahan,
Melainkan perjalanan itu sendiri,
Bagaimana kita menapaki debu-debu waktu.
Oh, betapa manisnya pelarian ini,
Sejenak, aku terbang melintasi batas yang tak pernah kugenggam,
Namun apakah kebebasan sejati adalah pelarian?
Ataukah keberanian untuk menghadapinya,
Untuk melihat realita, memeluknya, meski perih?
Kebebasan ada di sini, dalam setiap kesadaran yang kutemui,
Dalam tiap teguk keberanian, bukan untuk kabur,
Melainkan untuk menerima, memahami, dan akhirnya, merelakan.
Di akhir riak, ketika tetes terakhir menari di kerongkongan,
Sisa-sisa sejarah meluruh tanpa jejak,
Namun tersisa pemahaman, yang abadi dan jernih:
Bahwa hidup ini adalah siklus tanpa ujung,
Kita datang, bertarung, mencinta, terluka, lalu pergi.
Namun setiap luka, setiap pertempuran, memberi makna,
Menyematkan jejak pada jiwa, yang akan abadi di ruang tanpa waktu.
Aku, pejalan dalam waktu yang berputar,
Merangkul bayang-bayang masa lalu dan impian yang datang,
Berdiri di ambang malam yang tak bertepi,
Dengan gelas di tangan, kenangan dalam darah,
Mengerti bahwa luka bukan akhir,
Tetapi awal dari kebijaksanaan yang tak ternilai.
Menangis, tertawa, berjuang –
Itulah hidup, dan itulah kemenangan yang sejati.
---
By. Fadillah Fani
Komentar
Posting Komentar